Pulau Nias adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera, Indonesia yang memiliki daya tarik pariwisata yang saat ini masih belum dieksplorasi secara optimal. Pulau Nias telah memekarkan diri menjadi 4 Kabupaten yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat dan Kabupaten Nias Utara serta 1 Kota yaitu Kota Gunungsitoli. Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias. Dalam bahasa aslinya, masyarakat Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" red:(Ono = anak/keturunan; Niha = Manusia) dan Pulau Nias sebagai "Tanö Niha" red:(Tanö = tanah)
(red : dalam tata bahasa Nias, "ö" = dibaca seperti konsonan e pada kata Kepada dan é = dibaca seperti pada kata Wikipedia)
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut FONDRAKÖ yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat), Afulu (Nias Utara) sampai sekarang.
Menurut Mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Berdasarkan mitos tersebut di atas, dikatakan bahwa kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
Sedangkan berdasarkan penelitian Arkeologi yang telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitikum, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Di pulau Nias juga dikenal istilah marga yaitu sistem yang mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari perkumpulan-perkumpulan dan dari seorang nenek moyang (komunitas) yang ada. Dulu pernikahan dalam satu marga tidak dibenarkan tapi untuk zaman sekarang, tradisi tersebut mulai ditinggalkan.
Adapun daftar marga di Pulau Nias yaitu :
1. Amazihönö
2. Baeha,
3. Baene,
4. Bate'e,
5. Bawamenewi,
6. Bawaniwao,
7. Bawo,
8. Bohalima,
9. Bu'ulölö,
10. Buaya,
11. Bunawolo
12. Dachi,
13. Dachi Halawa,
14. Daeli,
15. Dawolo,
16. Dohare,
17. Dohona,
18. Duha,
19. Fau,
20. Farasi
21. Gaho,
22. Garamba,
23. Gea,
24. Giawa,
25. Gowasa,
26. Gulö,
27. Ganumba,
28. Gaurifa,
29. Gohae
30. Halawa,
31. Harefa,
32. Haria,
33. Harita,
34. Hia,
35. Hondro,
36. Hulu,
37. Humendru,
38. Hura
39. Lafau,
40. Lahagu
41. Lahomi,
42. La'ia,
43. Laoli,
44. Laowö,
45. Larosa,
46. Lase,
47. Lawolo,
48. Lo'i,
49. Lombu
50. Maduwu,
51. Manao,
52. Mandrehe,
53. Maruao,
54. Maruhawa,
55. Marulafau,
56. Marundruri,
57. Mendröfa,
58. Mangaraja
59. Nazara,
60. Ndraha,
61. Ndruru,
62. Nehe,
63. Nakhe
64. Saoiago,
65. Sarumaha,
66. Sihura,
67. Tafonao,
68. Telaumbanua
69. Wau,
70. Wakho,
71. Waoma,
72. Waruwu,
73. Warae,
74. Warasi,
75. Wehalo,
76. Wohe,
77. Zagoto,
78. Zai,
79. Zalukhu,
80. Zamasi,
81. Zendroto,
82. Zebua,
83. Zega,
84. Zendratö,
85. Ziliwu
Adapun daftar marga di Pulau Nias yaitu :
1. Amazihönö
2. Baeha,
3. Baene,
4. Bate'e,
5. Bawamenewi,
6. Bawaniwao,
7. Bawo,
8. Bohalima,
9. Bu'ulölö,
10. Buaya,
11. Bunawolo
12. Dachi,
13. Dachi Halawa,
14. Daeli,
15. Dawolo,
16. Dohare,
17. Dohona,
18. Duha,
19. Fau,
20. Farasi
21. Gaho,
22. Garamba,
23. Gea,
24. Giawa,
25. Gowasa,
26. Gulö,
27. Ganumba,
28. Gaurifa,
29. Gohae
30. Halawa,
31. Harefa,
32. Haria,
33. Harita,
34. Hia,
35. Hondro,
36. Hulu,
37. Humendru,
38. Hura
39. Lafau,
40. Lahagu
41. Lahomi,
42. La'ia,
43. Laoli,
44. Laowö,
45. Larosa,
46. Lase,
47. Lawolo,
48. Lo'i,
49. Lombu
50. Maduwu,
51. Manao,
52. Mandrehe,
53. Maruao,
54. Maruhawa,
55. Marulafau,
56. Marundruri,
57. Mendröfa,
58. Mangaraja
59. Nazara,
60. Ndraha,
61. Ndruru,
62. Nehe,
63. Nakhe
64. Saoiago,
65. Sarumaha,
66. Sihura,
67. Tafonao,
68. Telaumbanua
69. Wau,
70. Wakho,
71. Waoma,
72. Waruwu,
73. Warae,
74. Warasi,
75. Wehalo,
76. Wohe,
77. Zagoto,
78. Zai,
79. Zalukhu,
80. Zamasi,
81. Zendroto,
82. Zebua,
83. Zega,
84. Zendratö,
85. Ziliwu
Di samping itu, di Pulau Nias dikenal istilah kasta. Di pulau Nias dikenal ada sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu" dan untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Adapun beberapa rincian kasta yang terdapat di Pulau Nias antara lain:
1. Si’ulu (Balugu/Salaŵa), yaitu: golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan tertinggi secara turun-temurun, akan tetapi pengukuhannya melalui proses pelaksanaan pesta kebesaran (Owasa/Fa’ulu). Bangsawan yang telah memenuhi kewajiban adatnya melalui proses Owasa/Fau’ulu disebut Si’ulu Si Ma’awai dan menjadi Balö Zi’ulu yaitu bangsawan yang memerintah;
2. Ere, yaitu: para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena kepintaran seseorang dalam hal tertentu, maka dia disebut Ere, umpamanya Ere Huhuo yaitu seseorang yang sangat pintar dalam berbicara terutama menyangkut adat-istiadat. Secara garis besar terdapat 2 (dua) macam ere, yaitu: Ere Börönadu dan Ere Mbanua;
3. Si’ila, yaitu: kaum cerdik-pandai yang menjadi anggota badan musyawarah desa. Mereka yang selalu bermusyawarah dan bersidang (Orahu) pada setiap masalah-masalah yang dibicarakan dalam desa, dipimpin oleh Balö Zi’ulu dan Si’ulu lainnya;
4. Sato, yaitu: Masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan) juga sering disebut Ono mbanua atau si fagölö-gölö atau niha si to’ölö;
5. Sawuyu (Harakana), yaitu: golongan masyarakat yang terendah. Mereka berasal dari orang-orang yang melanggar hukum dan tidak mampu membayar denda yang dibebankan kepadanya berdasarkan keputusan sidang badan musyawarah desa. Kemudian mereka ditebus oleh seseorang (biasanya para bangsawan), oleh karenanya semenjak itu mereka menjadi budak (abdi) bagi penebus mereka. Mereka juga berasal dari orang-orang yang tidak mampu membayar utang-utangnya, orang-orang yang diculik atau orang-orang yang kalah dalam perang, kemudian mereka menjadi budak.
1. Si’ulu (Balugu/Salaŵa), yaitu: golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan tertinggi secara turun-temurun, akan tetapi pengukuhannya melalui proses pelaksanaan pesta kebesaran (Owasa/Fa’ulu). Bangsawan yang telah memenuhi kewajiban adatnya melalui proses Owasa/Fau’ulu disebut Si’ulu Si Ma’awai dan menjadi Balö Zi’ulu yaitu bangsawan yang memerintah;
2. Ere, yaitu: para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena kepintaran seseorang dalam hal tertentu, maka dia disebut Ere, umpamanya Ere Huhuo yaitu seseorang yang sangat pintar dalam berbicara terutama menyangkut adat-istiadat. Secara garis besar terdapat 2 (dua) macam ere, yaitu: Ere Börönadu dan Ere Mbanua;
3. Si’ila, yaitu: kaum cerdik-pandai yang menjadi anggota badan musyawarah desa. Mereka yang selalu bermusyawarah dan bersidang (Orahu) pada setiap masalah-masalah yang dibicarakan dalam desa, dipimpin oleh Balö Zi’ulu dan Si’ulu lainnya;
4. Sato, yaitu: Masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan) juga sering disebut Ono mbanua atau si fagölö-gölö atau niha si to’ölö;
5. Sawuyu (Harakana), yaitu: golongan masyarakat yang terendah. Mereka berasal dari orang-orang yang melanggar hukum dan tidak mampu membayar denda yang dibebankan kepadanya berdasarkan keputusan sidang badan musyawarah desa. Kemudian mereka ditebus oleh seseorang (biasanya para bangsawan), oleh karenanya semenjak itu mereka menjadi budak (abdi) bagi penebus mereka. Mereka juga berasal dari orang-orang yang tidak mampu membayar utang-utangnya, orang-orang yang diculik atau orang-orang yang kalah dalam perang, kemudian mereka menjadi budak.
KEBUDAYAAN PULAU NIAS
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut "FONDRAKÖ yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat), Afulu (Nias Utara) sampai sekarang dan tempat ini dilindungi oleh Museum Pusaka Nias.
Di samping itu juga banyak memiliki corak kebudayaan lainnya diantaranya Omo Ni Oniha (Rumah Adat), Maena (Tarian) seperti Tari Moyo (Rajawali), Tari Mogaele, (Baluse) tari Perang dan lain-lain.
1. Hombo Batu (Lompat Batu) yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat Nias dan meloncat di atas susunan batu setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Ajang tersebut diciptakan untuk menguji fisik dan mental para remaja pria Nias menjelang usia dewasa yang akan ikut berperang melawan penjajah karena pertahanan musuh sangat kuat jadi untuk memasuki area musuh tidak selalu mudah apalagi untuk mengalahkannya sebab di beberapa wilayah, musuh memiliki kubu pertahanan yang sangat kuat di antara beberapa titik yaitu bambu runcing yang merupakan benteng pertahanan, sehingga dengan ketangkasan para leluhur melalui latihan lompat batu dengan penuh semangat dan percaya diri sehingga kubu pertahanan musuh dapat di lalui dengan lompatan yang sangat tinggi, dan akhirnya benteng pertahanan musuh menjadi rubuh dan setelah itu musuh di kalahkan. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu.
Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tidak kurang dari 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang tolakan dari permukaan tanah 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki teknik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang. Begitu terkenalnya tradisi lompat batu ini membuat tradisi ini pernah diabadikan pada pecahan uang seribu rupiah pada awal tahun 1990-an dengan gambar seorang pria Nias yang sedang melompati tugu batu.
2. Maena (Tari)
Maena adalah sebuah tarian yang sangat simpel dan sederhana, tetapi mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara. Dibandingkan dengan tari moyo, tari baluse/tari perang (masih dari Nias), maena tidak memerlukan keahlian khusus. Gerakannya yang sederhana telah membuat hampir semua orang bisa melakukannya. Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah terletak pada rangkaian pantun-pantun maena (fanutunõ maena), supaya bisa sesuai dengan event dimana maena itu dilakukan.
Maena adalah sebuah tarian yang sangat simpel dan sederhana, tetapi mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara. Dibandingkan dengan tari moyo, tari baluse/tari perang (masih dari Nias), maena tidak memerlukan keahlian khusus. Gerakannya yang sederhana telah membuat hampir semua orang bisa melakukannya. Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah terletak pada rangkaian pantun-pantun maena (fanutunõ maena), supaya bisa sesuai dengan event dimana maena itu dilakukan.
Pantun maena (fanutunõ maena) biasanya dibawakan oleh satu orang atau dua orang dan disebut sebagai sanutunõ maena, sedangkan syair maena (fanehe maena) disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam tarian maena dan disebut sebagai sanehe maena/ono maena. Syair maena bersifat tetap dan terus diulang-ulang/disuarakan oleh peserta maena setelah selesai dilantunkannya pantun-pantun maena, sampai berakhirnya sebuah tarian maena. Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertuntun bahasa Nias (amaedola/duma-duma), namun seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun-pantun maena yang khas li nono niha (bahasa asli Nias) sudah banyak menghilang, bahkan banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya, ini bisa kita dengarkan kalau ada acara-acara maena di kota-kota besar. Maena boleh dibilang sebuah tarian seremonial dan kolosal dari Suku Nias, karena tidak ada batasan jumlah yang boleh ikut dalam tarian ini. Semakin banyak peserta tari maena, semakin semangat pula tarian dan goyangan (fataelusa) maenanya.
Tidak salah lagi maena merupakan tarian khas yang mudah dikenali dan dilakukan oleh ono niha maupun oleh orang di luar Nias yang tiada duanya dengan tarian poco-poco (Sulawesi) atau tarian Sajojo (Irian), yang telah memperkaya panggung budaya nasional. Di Nias maupun di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Bandung, Padang, Sibolga, sering dijumpai maena pada acara pernikahan orang-orang Nias. Maena, tari moyo, tari baluse, hombo batu, li niha, amaedola adalah merupakan kekayaan budaya ono niha yang seharusnya terus dijaga dan dilestarikan.
3.Omo Hada (Rumah Adat)
Dulu omo hada (rumah adat) oleh masyarakat Nias digunakan sebagai lambang kekayaan pemiliknya. Selain sebagai tempat tinggal, di dalam rumah ini bangsawan pemiliknya berhak melakukan pertemuan dan acara adat. Acara adat dimaksud dapat berupa upacara pengukuhan raja (owasa famaho bawi soya), upacara menguji kekuatan rumah raja (famoro omo), dan pesta pembuatan rumah baru (famaluaya tuha nomoa). Dengan demikian, omo hada merupakan titik sentral setiap kegiatan yang melibatkan adat istiadat. Peralihan zaman membuat fungsi omo hada berubah menjadi rumah pertemuan biasa, dan sebagai gantinya balai desa menjadi titik pertemuan.
Dulu omo hada (rumah adat) oleh masyarakat Nias digunakan sebagai lambang kekayaan pemiliknya. Selain sebagai tempat tinggal, di dalam rumah ini bangsawan pemiliknya berhak melakukan pertemuan dan acara adat. Acara adat dimaksud dapat berupa upacara pengukuhan raja (owasa famaho bawi soya), upacara menguji kekuatan rumah raja (famoro omo), dan pesta pembuatan rumah baru (famaluaya tuha nomoa). Dengan demikian, omo hada merupakan titik sentral setiap kegiatan yang melibatkan adat istiadat. Peralihan zaman membuat fungsi omo hada berubah menjadi rumah pertemuan biasa, dan sebagai gantinya balai desa menjadi titik pertemuan.
Selain sebagai rumah tinggal, omo hada juga berfungsi sebagai tempat pertemuan informal. Nilai sejarah omo hada ini pernah diteliti ahli dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO), yakni Prof Alain M Viaro. Hasilnya, omo hada dinyatakan sebagai rumah dengan arsitektur paling lengkap. World Monument Fund kemudian mencatat dan memasukkan situs omo hada sebagai salah satu dari 100 situs dunia yang berada dalam keadaan bahaya dan perlu segera diselamatkan, bersama Borobudur, Taman Sari di Yogyakarta, dan Tanah Lot di Bali. Pernyataan ini muncul karena rumah tersebut dibangun tanpa paku, hanya berupa tiang penyangga. Selain itu, karena memegang nilai sejarah silsilah nenek moyang suku Nias Selatan, maka rumah ini menjadi penting artinya.
